Sasmorodahana
Rabu, 10 Mei 2023
Sasmoro Dahana
Saia juga sudah punya blog sebelumnya tapi namanya terlalu sulit untuk diingat.
Sasmoro Dahana
atau Asmoro Dahana
atau Asmara Dahana
adalah nyanyian cinta.
Jadi blog ini berisi lagu2 cinta,,
hahaa..
bukan bukan..
blog ini hanya coretan kata yang [kadang] bermakna.
Simak sajalah...
Senin, 28 Mei 2012
Beat Merah Sang Gatot Kaca
Rabu, 09 Mei 2012
Aku Segera Menikah
Seperti biasa, seperti hari hari janji temu kita sebelumnya. Aku selalu berharap punya banyak waktu untuk lebih lama bersamamu. Membincangkan apa saja, berkomentar tentang siapa saja. Hingga pagi pun mau, bila oh denganmu. Karena ku selalu... Senang bersamamu... kira kira begitu kata Naif. -bullshit!- Jelas ini masalah hati, masalah kagum padamu yang berlebihan sampai akhirnya salah terapan.
Aku sadar betul aku salah paham tentang kita. Dan aku yakin kau pun sudah paham. Tapi aku pura pura alpa. Menganggap pertemuan pertemuan kita itu biasa saja. Aku lelah. Tapi seperti snorkling, lelah setelah bergulat dengan air laut dan ombak tidak membuatku lantas kapok untuk nanti datang lagi. Terjun lagi ke laut untuk menikmati indah dunia di bawahnya. Seperti junkies yang menganggap sakit adalah nikmat sesungguhnya.
Minggu, 12 Februari 2012
Berbincang Dalam Diam
Aku punya satu tiket lagi darinya. Tiket pertunjukan tari kolaborasi di salah satu bengkel seni di pinggiran Jakarta. Dia bilang, "Simpan ini. Barangkali bisa buat bahan menulis di blog-mu lagi." seraya menyodorkan dua potongan tiket marun dan abu-abu. Miliknya yang marun, sisa lainnya milikku berbeda warna karena aku membayar tiket setengah harga hanya dengan menunjukkan kartu kecil berlogo Institut tempatku berdiskusi tentang seni.
Aku kabuli celotehnya, aku menulis lagi.
Hari ini entah hari keberapa aku tidak menulis di blog ini. Bahkan tidak mengunjunginya dalam waktu yang lama. Jika blog ini adalah sebuah rak, barangkali kecoa beranak pinak di sini. Atau barangkali ini buku harian, lembaran kertasnya mungkin sudah menempel satu dengan yang lainnya karena lembab.
Aku ingat beberapa waktu lalu memposting sebuah tulisan hanya karena secarik kertas kecil yang aku bilang (di tulisanku tempo hari) sering menyembul keluar ketika aku membuka tas cokelat mudaku. Kali ini aku tidak mau lagi diganggu sembulan semacam itu. Tiket marun dan abu abu milik kami aku simpan di dalam dompet. Aku kancing di salah satu kantongnya, aku tutup rapat. Mungkin mereka pengap. Aku pura pura tidak peduli.
Kali ini aku menyimak betul pertunjukan tari yang kami kunjungi. Menyimak betul betul. Meskipun di beberapa babak, aku kurang mengerti arti tembang tembang yang mereka nyanyikan dalam bahasa Sunda dan Jawa. Tapi aku menikmati, sangat. Aku pikir laki laki dan perempuan yang bisa menari itu seksi.
Sepanjang pertunjukan, mataku lekat pada deret alat gamelan dan para penari dari dua budaya berlainan itu beraksi menunjukkan diri. Berputar, meliuk, menghentak: berkeringat. Sepanjang pertunjukan kami tidak berbincang sama sekali. Hanya celetukan sesekali. Sungguh aku benar memperhatikan mereka. Sungguh. (Tanganku juga berkeringat).
Sedari tadi tidak ada perbincangan berarti tapi aku bicara: dalam hati. Bukan tidak ingin kau tau, karena kau pasti tau. Pun ketika kau tawarkan susu jahe di angkringan depan gedung pertunjukan, aku bicara dalam hati. Bukan tidak ingin kau tau, karena kau pasti tau.
Dalam diam kita berbincang: tentang aku, kamu, kuliah, nikah, kacamata. Juga tentang tiket bioskop yang sering menyembul keluar dari tasku. Aku tau ketika kau menyeruput susu jahemu kau bilang: "Tiket itu masih sering menyembul keluar tasmu? Tas yang inikah? Yang cokelat muda ini? yang kau sandang sedari tadi? Tas yang sama yang kau pakai nonton denganku tempo hari? Aku simak, bajumu juga sama. Baju yang sama yang kau pakai nonton denganku tempo hari." Dan kau tau aku menjawab semua pertanyaanmu dengan satu jawaban: "Ya.", sambil meneguk susu jaheku.
Hidup harus terus berjalan, meskipun kenyataan tak sesuai apa yang diimpikan. Remuk redam itu masih terasa tapi aku mencoba terbiasa. Toh aku memang sudah biasa. Semenjak kau sudahi petualanganku merebut hatimu, pekerjaanku mulai bertambah: merapikan potongan hati yang terburai-setiap hari.
Mungkin kemarin dan esok lusa nanti, aku memilih berbincang denganmu lewat diam. Karena bicara tak lagi mampu menumpah ruahkan semua. Sekalipun aku berkali mencoba.
Senin, 14 November 2011
25.09.2011.16.15
Sore itu kita nonton... Ah, tidak begitu penting apa yang kita saksikan. Ini hanya tentang sore yang ingin kita habiskan. Pertunjukan itu hanya sebuah alasan. Bukan begitu, Tuan? Bahkan sesudahnya aku hanya komentar: filmnya kurang bagus. Karena aku tak menyimak isinya, sibuk membenahi isi hatiku.
Lalu sesudah itu, berbalur jus jeruk, bibir kami sibuk membincang tentang apa saja: juga tentang kuliah, kerja, nikah, aku, kamu, kacamata. Tak satupun yang ku tanggapi benar kecuali tentang alasan kenapa kau sempat "menghilang" tempo hari.
Aku tercekat, ketika hati yang sedari tadi, di teater 3 aku benahi [agar ketika akan ku ungkap dia tidak berebut keluar atau malah tersendat di pangkal lidah] harus kutelan bulat bulat ke dalam perut, jauh dari tempat yang harusnya kukembalikan lagi: ke dalam hati. Paham sudah aku tentang semua yang selama ini jadi pertanyaanku. Dan harusnya aku merasa beruntung tidak sampai jadi menelanjangi hatiku sendiri di depanmu, di depan jus jeruk kita yang tinggal separuh.
Katamu "Bahkan, padamu, aku waspada. Tidak ingin membuatmu berderai derai seperti lainnya.". Paham sudah aku.
Kemudian surat itu kusesapi jauh,, dan semakin jauh ke bawah bantal. Dimana bangkai dan kulit pisang terbuang di sana. Sampai aku benar benar yakin, suatu saat aku butuh surat itu untuk kutunjukkan padamu betapa aku merindu, aku tidak akan pernah menemukannya lagi. Atau akan kutemukan dengan sangat lusuh, bersampul mendung, berbau anyir.
Patah.
Kamis, 25 Agustus 2011
Dhurung Perang Kok Wes Nyerah
Sudah ku putar 13 kali cangkir kopi Nescafe merahku, padahal isinya robusta buatan Fabriek Koffie Aroma Banceuy. Sisa gilingan kasar kopinya nempel di bibir cangkir. Kuputar lagi ke kiri, belum sempat sampai ke titik awalnya, kubalik putar kekanan. Kupandangi lekat lekat corak cokelat pekat, sepat. Kupeluk kedua lututku cekat.
Entah apa yang kupikirkan sembari memandangi kopi sepatku yang sudah dingin itu. Dipojokan kamar di samping tempat tidur dimana aku biasa memimpikanmu. Mataku sesekali berpaling ke tembok, menyelingkuhi cangkir kopi dinginku. Keduanya: cangkir kopi dingin dan tembok, tidak bisa merangkum jadi satu semua pikiranku. Kadang teringat sepeda ontel karat punya Mbah, kadang teringat deadline majalah di kantor, kadang teringat komik Gundala, kadang memikirkanmu. Ya, saya tidak pernah bisa mengingatmu. Tapi memikirkan. Jauh lebih berat ketimbang sekedar mengingat. Ada beban tersendiri ketika tau tentangmu, tentang kisah cinta cinta-an ala mu.
Rasanya aku ingin jadi orang lain yang tidak perlu tau cerita ini. Jadi aku bebas lakukan apa saja yang aku mau. Merencanakan apa saja yang aku ingin kerjakan. Walau mungkin rencana rencanaku itu tidak akan aku laksanakan semuanya. Setidaknya aku punya mimpi yang ingin kukabuli sendiri.
Kalau begini, aku jadi orang yang ironi. Jadi punya ribuan alasan untuk tidak merencanakan apapun. Juga rencana untuk menambahkanmu pada daftar wishlist setelah kuliah dan sebelum Piaggio LX 150.
Aku punya bedil, tapi tidak boleh menggunakannya. Atau mengambil kesimpulan bahwa rasanya sia sia menghunus bedil padamu. Kau tidak akan mati oleh bedilku. Kira kira begitu. Kira kira kalau aku lakukanpun, rasanya akan sia sia.
Aku memutuskan untuk mundur teratur. Bukan mundur dengan kaki kanan, lalu disusul kaki kiri. Aku mundur dengan mengatur basahan basahan yang meleleh di ujung ujung mataku. Tak perlu kutunjukkan bendera putih itu padamu, kau tak perlu tau kalau aku berperang melawan inginku. Aku juga tidak serta merta menjadikan bendera putih itu sebagai alat seka lelehan itu, aku benar benar tidak ingin kau tau.
Aku memutuskan untuk mundur. Walau perang untuk merebutmu baru jadi rencana. Aku punya perang lain: perang melawan mataku. Aku menyerah, sudah tau bakal kalah.