Rabu, 10 Mei 2023

Sasmoro Dahana

Blog ini saia buat bukan karena saia ingin dibilang anak gaul, atau hanya sekedar iseng.
Saia juga sudah punya blog sebelumnya tapi namanya terlalu sulit untuk diingat.

Sasmoro Dahana
atau Asmoro Dahana
atau Asmara Dahana
adalah nyanyian cinta.

Jadi blog ini berisi lagu2 cinta,,
hahaa..
bukan bukan..
blog ini hanya coretan kata yang [kadang] bermakna.

Simak sajalah...

Senin, 28 Mei 2012

Beat Merah Sang Gatot Kaca


Dari SMA gw pengen banget punya motor. Motor apa aja asal nyaman dan aman buat dikendarain. Tujuannya sih satu, bukan buat gaya-gayaan atau pamer tunggangan. Tapi biar kalo gw kemana-mana itu gak ngandelin orang. Bahkan dulu gak kepikiran buat punya motor anyar. Cita-cita gw itu dulu bayarin 1 vespa abang gw, berharap dia lepas 3 jutaan.

Akhirnya Bapak DP-in matic Mio, buat gw sama adek gw. Tapi tetep repot, karena kadang kita butuh pake motor barengan. Karena sering ribut rebutan motor, mungkin Tuhan punya cara lain mendamaikan kami. Mio kami ilang tepat sebulan mangkrak di rumah. Demi Neptunus gw kesel banget sama adek gw lantaran dia teledor, motor kami ilang.

Sebulan kerja di ERL, gw putuskan untuk cicil beli motor. Cowok gw [waktu itu] bilang jangan dulu. Dia bersedia anter dan jemput gw. Tapi kan dari dulu gw udah bilang, mau punya motor itu biar gak ngandelin orang. Jadi gw bulatkan tekad buat beli motor.

Gw liat-liat katalog. Entah kenapa, gw langsung JATUH CINTA BANGET sama motor ini. Bukan, bukan Beat, Piaggio MP3. [ya iyalah *toyor*]. Tapi Ibu Bapak gw gak setuju. Katanya Piaggio MP3 bukan orang Jawa, jadi mereka kurang sreg, *eh bukan deng. Piaggio MP3 itu susah masuk rumah gw, pintunya cuma muat 2 orang. Jadi gw cari motor laen aja.

Satria, nonggeng naeknya. Vixion, gak nyampe. Jialing, udh gak keluar. Mio, trauma ilang lagi. Pilihan gw jatuh pada Vario atau Beat. @mellycupy punya Vario lebih dulu, @nengnidia Beat. Diem-diem gw amati. Beat lebih ramping, gw mikir yang gampang aja markirnya. Karena gw kecil dan Vario agak besar, gw putuskan untuk "nembak" Beat aja. Nah, sekarang gw bingung pilih warnanya.

Nah soal warna, Beat ada yang kuning gading, putih, pink, biru, item, dan merah. Gw suka yang Pink! Demi Neptunus! Tapi si @nengnidia udah punya, gak asik dong kalo kami kembaran. Nanti ga bisa tuker pakai. Akhirnya gw pilih #beatmerah. Dari pertama Bapak punya Suzuki GX 2 Tak sampe punya Revo anyar, semua motornya warna merah. Gw jadi ikut2an. Kata Bapak, kalo bukan item atau merah, rasanya bukan motor. *maaf @nengnidia *ngumpet :DDD

Tanpa menunda waktu, #beatmerah di katalog pindah ke rumah. Girang bukan kepalang ketika gak lama, dapet STNK berukirkan nama gw. Tapi Bapak ngingetin beliau gak akan ngasih toleransi pembayaran #beatmerah di 17 bulan ke depan, semua tanggung jawab gw.

Saking girangnya, gw iyain aja. Ambil cicilan paling pendek yang berarti bulanannya cukup mahal. Kegirangan gw berubah kecemasan. Bulan-bulan pertama punya #beatmerah adalah juga bulan2 pertama gw kerja. Gw kelimpungan ngatur keuangan. Niatnya klo udah kerja pengen punya Chanel atau LV atau sekedar blush on Oriflame harus pupus dulu *lebay*

Di bulan ke dua, gw beri nama #beatmerah dengan Gatot Kaca. Karena tulangnya memang dari besi. Gak pernah gw biarkan #beatmerah gw lecet bahkan kotor. Tahun pertama gw gak pernah percayain orang lain [bahkan] untuk cuci motor gw. I do by myself! Suka dan duka, panas dan hujan, gw lewati bersama dengan #beatmerah gw, si Gatot Kaca. Kami semakin intim.

17 bulan sudah keintiman itu kami lewati bersama. Di bulan ini dia berjanji akan menyerahkan sepenuh dirinya pada gw. Akhirnya di bulan ke-17 ini gw lunasi mahar gw. #beatmerah sepenuhnya kini jadi milik gw. Kami muhrim sekarang. MUHRIM!! Demi Neptunus juga, gak akan ada yang bisa memisahkan kami. Gw dan #beatmerah. [kecuali Piaggio LX 150] #eh. Gak, gak, boong *usap2 #beatmerah.

Jadi tadi pagi adalah ikrar sehidup gak semati gw sama #beatmerah. Disaksikan oleh Pak Iman sang pegawai dealer yang mengisi kolom cicilan ke-17. Surat-surat sedang diurus. Bukan kami gak percaya ikrar kami, tapi surat-surat memang penting. BPKB #beatmerah sebagai bukti dia milik gw yang sah. SAH!!! Semoga Tuhan selalu menjaga kemesraan kami. Gw dan #beatmerah. *diam2 gw bisikkan terimakasih karena telah setia mengantar gw kemana-mana.*



Rabu, 09 Mei 2012

Aku Segera Menikah


Sore itu kami janji bertemu disebuah pusat perbelanjaan di pinggir kota. Di bioskop yang kami sebut 21. Rencananya mau nonton film terbaru dari serial komik yang kemudian difilmkan. Aku janji tiba lebih dulu di sana, janji untuk membeli tiket buat kami berdua.

Enam puluh menit sebelum sampai di 21. Aku sibuk memilah baju apa yang ingin aku pakai: Kaos putih polos dengan rok denim. Blus dengan jeans biru tua. Cardigan pink susu dengan rok panjang broken white.
-Kaos polos abu-abu, denim overall skirt warna hitam, jeans hitam.-
Fix. Aku meluncur dengan vespa merahku. Aku hitam dan kelabu. Kau... Aku belum tau. Kita janji bertemu.

"Aku menunggumu di pintu. Di dalam kaos polos abu-abu." -draft
"FYI. Parkiran Junction penuh banget." -sent

"Dah dmn?"
"Gue di parkiran"
"Menuju situ"

"Iya lg antre tiket"
"Jam 17.45 abis. Mau yg jm 20.30?"

"Ya boleh"

"Okeh"

Pukul 16.15 aku sudah sampai di sana. Di tempat janjian kita. Sepuluh menit kemudian kau sudah tiba. Tak kusangka kau juga dalam hitam. Sudah terpuaskan rasa ingin tauku tentang baju apa yang kau pakai.

Masih dua setengah jam lagi film kita dimulai. Bingung menghabiskan waktu dimana, kita memutuskan untuk minum kopi di Black Canyon Coffee. Kau yang pilih untuk duduk di sofa depan cafe sambil menyaksikan Moto GP. Kita berbincang tentang diam. Sesekali tentang rokok, cokelat, dan sakit gigi -juga sakit hati-.

Kau bilang, orang orang yang sukses berawal dari sakit hati. "Lihat saja Adele, Mozart, Einsten..." kau berkata menggebu gebu. "van Gogh." aku menambahkan. "Betul, betul sekali."

Aku bilang, sakit gigi jauh lebih sakit ketimbang sakit hati. Karena sakit gigi tidak bisa dibagi dengan orang lain, sakit hati bisa. Kau tidak setuju. karena kau bilang sakit gigi bisa sembuh dengan Ponstan, sakit hati tidak. Kita memang selalu berselisih pendapat. Selalu begitu. Kau tau betul membuat diskusi jadi lebih hidup. Membuat obrolan jadi panjang.

Sekian jam berlalu. Tiket yang sudah ku kantongi kuserahkan di pintu masuk teater 4 agar kami diperbolehkan masuk ke ruang pemutaran film. N9 dan N8, deret depan, membuat kami sedikit dongak untuk menyaksikan film. Tak apa, aku sudah terbiasa dalam suasana tidak enak jika bersamamu.

Dua setengah jam kita habiskan untuk duduk di ruang gelap yang berpendingin. Menyuguhkan suara dan gambar bergerak. Menyiratkan kenyamanan untuk tidak mau beranjak.


Seperti biasa, seperti hari hari janji temu kita sebelumnya. Aku selalu berharap punya banyak waktu untuk lebih lama bersamamu. Membincangkan apa saja, berkomentar tentang siapa saja. Hingga pagi pun mau, bila oh denganmu. Karena ku selalu... Senang bersamamu... kira kira begitu kata Naif. -bullshit!- Jelas ini masalah hati, masalah kagum padamu yang berlebihan sampai akhirnya salah terapan.


Aku sadar betul aku salah paham tentang kita. Dan aku yakin kau pun sudah paham. Tapi aku pura pura alpa. Menganggap pertemuan pertemuan kita itu biasa saja. Aku lelah. Tapi seperti snorkling, lelah setelah bergulat dengan air laut dan ombak tidak membuatku lantas kapok untuk nanti datang lagi. Terjun lagi ke laut untuk menikmati indah dunia di bawahnya. Seperti junkies yang menganggap sakit adalah nikmat sesungguhnya.

Kami memutuskan untuk pulang setelah itu. Hari sudah terlalu malam, pukul 22.15 saat kita keluar ruang pertunjukan. Aku juga sudah tidak kuat menahan kantuk. Kami berpisah. Aku lelah. Hatiku lelah.


"Sayang, dari tadi kamu aku hubungin gak bisa. HP kamu kenapa? Ini aku mau nanya, list temen2 kamu yang mau diundang siapa aja?" sender: Ari.

Tap OK to shutdown your phone

OK



Minggu, 12 Februari 2012

Berbincang Dalam Diam

Aku punya satu tiket lagi darinya. Tiket pertunjukan tari kolaborasi di salah satu bengkel seni di pinggiran Jakarta. Dia bilang, "Simpan ini. Barangkali bisa buat bahan menulis di blog-mu lagi." seraya menyodorkan dua potongan tiket marun dan abu-abu. Miliknya yang marun, sisa lainnya milikku berbeda warna karena aku membayar tiket setengah harga hanya dengan menunjukkan kartu kecil berlogo Institut tempatku berdiskusi tentang seni.


Aku kabuli celotehnya, aku menulis lagi.


Hari ini entah hari keberapa aku tidak menulis di blog ini. Bahkan tidak mengunjunginya dalam waktu yang lama. Jika blog ini adalah sebuah rak, barangkali kecoa beranak pinak di sini. Atau barangkali ini buku harian, lembaran kertasnya mungkin sudah menempel satu dengan yang lainnya karena lembab.


Aku ingat beberapa waktu lalu memposting sebuah tulisan hanya karena secarik kertas kecil yang aku bilang (di tulisanku tempo hari) sering menyembul keluar ketika aku membuka tas cokelat mudaku. Kali ini aku tidak mau lagi diganggu sembulan semacam itu. Tiket marun dan abu abu milik kami aku simpan di dalam dompet. Aku kancing di salah satu kantongnya, aku tutup rapat. Mungkin mereka pengap. Aku pura pura tidak peduli.


Kali ini aku menyimak betul pertunjukan tari yang kami kunjungi. Menyimak betul betul. Meskipun di beberapa babak, aku kurang mengerti arti tembang tembang yang mereka nyanyikan dalam bahasa Sunda dan Jawa. Tapi aku menikmati, sangat. Aku pikir laki laki dan perempuan yang bisa menari itu seksi.


Sepanjang pertunjukan, mataku lekat pada deret alat gamelan dan para penari dari dua budaya berlainan itu beraksi menunjukkan diri. Berputar, meliuk, menghentak: berkeringat. Sepanjang pertunjukan kami tidak berbincang sama sekali. Hanya celetukan sesekali. Sungguh aku benar memperhatikan mereka. Sungguh. (Tanganku juga berkeringat).


Sedari tadi tidak ada perbincangan berarti tapi aku bicara: dalam hati. Bukan tidak ingin kau tau, karena kau pasti tau. Pun ketika kau tawarkan susu jahe di angkringan depan gedung pertunjukan, aku bicara dalam hati. Bukan tidak ingin kau tau, karena kau pasti tau.


Dalam diam kita berbincang: tentang aku, kamu, kuliah, nikah, kacamata. Juga tentang tiket bioskop yang sering menyembul keluar dari tasku. Aku tau ketika kau menyeruput susu jahemu kau bilang: "Tiket itu masih sering menyembul keluar tasmu? Tas yang inikah? Yang cokelat muda ini? yang kau sandang sedari tadi? Tas yang sama yang kau pakai nonton denganku tempo hari? Aku simak, bajumu juga sama. Baju yang sama yang kau pakai nonton denganku tempo hari." Dan kau tau aku menjawab semua pertanyaanmu dengan satu jawaban: "Ya.", sambil meneguk susu jaheku.


Hidup harus terus berjalan, meskipun kenyataan tak sesuai apa yang diimpikan. Remuk redam itu masih terasa tapi aku mencoba terbiasa. Toh aku memang sudah biasa. Semenjak kau sudahi petualanganku merebut hatimu, pekerjaanku mulai bertambah: merapikan potongan hati yang terburai-setiap hari.


Mungkin kemarin dan esok lusa nanti, aku memilih berbincang denganmu lewat diam. Karena bicara tak lagi mampu menumpah ruahkan semua. Sekalipun aku berkali mencoba.

Senin, 14 November 2011

25.09.2011.16.15

Tiket itu masih tersimpan apik di tas cokelat mudaku. Tempat dimana aku biasa mengemas senyummu untuk [lagi lagi] membukanya di rumah sebagai teman minum kopi. Tiap kali kubuka tasku, tiket itu menyembul keluar seolah memaksaku mengulang ingatan tentang sore itu dan sore sore lain yang telah kita lahap bersama.

Sore itu kita nonton... Ah, tidak begitu penting apa yang kita saksikan. Ini hanya tentang sore yang ingin kita habiskan. Pertunjukan itu hanya sebuah alasan. Bukan begitu, Tuan? Bahkan sesudahnya aku hanya komentar: filmnya kurang bagus. Karena aku tak menyimak isinya, sibuk membenahi isi hatiku.

Lalu sesudah itu, berbalur jus jeruk, bibir kami sibuk membincang tentang apa saja: juga tentang kuliah, kerja, nikah, aku, kamu, kacamata. Tak satupun yang ku tanggapi benar kecuali tentang alasan kenapa kau sempat "menghilang" tempo hari.

Aku tercekat, ketika hati yang sedari tadi, di teater 3 aku benahi [agar ketika akan ku ungkap dia tidak berebut keluar atau malah tersendat di pangkal lidah] harus kutelan bulat bulat ke dalam perut, jauh dari tempat yang harusnya kukembalikan lagi: ke dalam hati. Paham sudah aku tentang semua yang selama ini jadi pertanyaanku. Dan harusnya aku merasa beruntung tidak sampai jadi menelanjangi hatiku sendiri di depanmu, di depan jus jeruk kita yang tinggal separuh.

Katamu "Bahkan, padamu, aku waspada. Tidak ingin membuatmu berderai derai seperti lainnya.". Paham sudah aku.

Kemudian surat itu kusesapi jauh,, dan semakin jauh ke bawah bantal. Dimana bangkai dan kulit pisang terbuang di sana. Sampai aku benar benar yakin, suatu saat aku butuh surat itu untuk kutunjukkan padamu betapa aku merindu, aku tidak akan pernah menemukannya lagi. Atau akan kutemukan dengan sangat lusuh, bersampul mendung, berbau anyir.

Patah.

Kamis, 25 Agustus 2011

Dhurung Perang Kok Wes Nyerah


Sudah ku putar 13 kali cangkir kopi Nescafe merahku, padahal isinya robusta buatan Fabriek Koffie Aroma Banceuy. Sisa gilingan kasar kopinya nempel di bibir cangkir. Kuputar lagi ke kiri, belum sempat sampai ke titik awalnya, kubalik putar kekanan. Kupandangi lekat lekat corak cokelat pekat, sepat. Kupeluk kedua lututku cekat.


Entah apa yang kupikirkan sembari memandangi kopi sepatku yang sudah dingin itu. Dipojokan kamar di samping tempat tidur dimana aku biasa memimpikanmu. Mataku sesekali berpaling ke tembok, menyelingkuhi cangkir kopi dinginku. Keduanya: cangkir kopi dingin dan tembok, tidak bisa merangkum jadi satu semua pikiranku. Kadang teringat sepeda ontel karat punya Mbah, kadang teringat deadline majalah di kantor, kadang teringat komik Gundala, kadang memikirkanmu. Ya, saya tidak pernah bisa mengingatmu. Tapi memikirkan. Jauh lebih berat ketimbang sekedar mengingat. Ada beban tersendiri ketika tau tentangmu, tentang kisah cinta cinta-an ala mu.


Rasanya aku ingin jadi orang lain yang tidak perlu tau cerita ini. Jadi aku bebas lakukan apa saja yang aku mau. Merencanakan apa saja yang aku ingin kerjakan. Walau mungkin rencana rencanaku itu tidak akan aku laksanakan semuanya. Setidaknya aku punya mimpi yang ingin kukabuli sendiri.


Kalau begini, aku jadi orang yang ironi. Jadi punya ribuan alasan untuk tidak merencanakan apapun. Juga rencana untuk menambahkanmu pada daftar wishlist setelah kuliah dan sebelum Piaggio LX 150.


Aku punya bedil, tapi tidak boleh menggunakannya. Atau mengambil kesimpulan bahwa rasanya sia sia menghunus bedil padamu. Kau tidak akan mati oleh bedilku. Kira kira begitu. Kira kira kalau aku lakukanpun, rasanya akan sia sia.


Aku memutuskan untuk mundur teratur. Bukan mundur dengan kaki kanan, lalu disusul kaki kiri. Aku mundur dengan mengatur basahan basahan yang meleleh di ujung ujung mataku. Tak perlu kutunjukkan bendera putih itu padamu, kau tak perlu tau kalau aku berperang melawan inginku. Aku juga tidak serta merta menjadikan bendera putih itu sebagai alat seka lelehan itu, aku benar benar tidak ingin kau tau.


Aku memutuskan untuk mundur. Walau perang untuk merebutmu baru jadi rencana. Aku punya perang lain: perang melawan mataku. Aku menyerah, sudah tau bakal kalah.

Rabu, 24 Agustus 2011

Entah Kau Apa

Salahku memang, yang diam diam menyimpan rasa yang sebenarnya tidak lazim terbentuk. Aku jelas tau tentangmu:tentang siapa yang kau kagumi. Jelas aku tau itu. Sudahku ingatkan berkali kali pada diriku, dilarang jatuh cinta pada orang yang jelas jelas aku tau pada siapa hatinya bertaut. Kelak hanya kecewa yang akan aku jemput. Tapi siapa yang bisa mengendalikan rasa sejenis ini, pun aku.

Kau tau saat kau bercerita tentangnya, kita tertawa. Kadang aku semangatimu untuk tetap berdoa. Sebenarnya di sela perbincangan kita, terselip doa lain. Doa egoisku agar kau menyudahi percakapan menyayat hati yang harus tetap aku nikmati ini.

Sekeras kerasnya aku mencoba membohongi hati, bahwa ini hanya sekedar rasa mengagumi. Semakin keras aku mangkir, semakin hati retak tetak di pinggir. Aku roboh.

Sepanjang hari aku hanya bisa diam, membututi gerak gerikmu dari berbagai media sosial. Kadang tertawa, kadang diam, kadang ingin melemparmu dengan gelas, ketika kau menggambarkan sesuatu di media media itu. -kadang aku juga cemburu! Itu alasan kenapa aku ingin melemparmu dengan gelas.

Tapi sungguh, itu hanya "ingin" tidak pernah "akan", kau terlalu indah kalau hanya untuk kulempari gelas.

Pernah sekali waktu kita berbincang tentang masa depan, mungkin hanya 2-3 jam bersamamu. Sudah penuh otakku dengan berbagai pandangan dan wejangan tentang hidup seperti perbincangan 2-3 tahun. Kau benar benar menyita konsentrasiku. Apa kau tau juga, diam diam aku mencuri matamu.

Kita berbincang tentang berbagai hal, terakhir tentang... ah... hal kecil. Tapi menarik. Selalu kau buat hal apapun menjadi menarik untuk dibicarakan. Dan selalu tidak pernah kau buat aku bosan.


Untuk ini semua, aku minta maaf padamu. Untuk mata yang diam diam telah aku curi.
Juga minta maaf untuk bidadarimu, karena telah lancang mencuri mata pemujanya.
Walau aku tau pasti, bidadarimu tidak akan keberatan untuk itu. Kami berteman baik.
Maaf Matahari Jam Tujuh Pagi. Maaf.